Friday, June 3, 2011

Kasih Sebagai Dasar Pernikahan

Saat ditanyakan: Kenapa kamu ingin menikah dengan dia? umumnya pasangan yang akan menikah menjawab: karena ’saya merasa cocok/sreg dengan dia’, ’saya yakin bahwa dia adalah pasangan hidup saya’, ’saya mencintainya’, ’saya ingin membahagiakannya’, dan sebagainya; tapi tidak banyak yang mengatakan...karena ’saya mengasihinya dan bisa menerima dia apa adanya’.

Padahal kasih merupakan dasar utama bagi pasangan untuk melangkah ke pernikahan, bukan cinta atau kecocokan semata. Firman Tuhan dalam Roma 5:8 mengajarkan bahwa, Tuhan terlebih dulu menunjukkan kasih-Nya pada kita, yaitu dengan mati di kayu salib, pada saat kita masih berdosa. Kasih tanpa syarat seperti yang Tuhan Yesus tunjukkan itulah yang seharusnya menjadi dasar/pondasi bagi pernikahan kita. Jika demikian halnya maka persoalan boleh ada namun rumah tangga akan tetap kuat, seperti ada tertulis, segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku (Filipi 4:13).

Menikah artinya menjadi satu daging dengan pasangan, nah apakah anda mau menyakiti tubuh anda sendiri? Tentu saja tidak! Sebagai pasangan orang percaya, satu sama lain harus bisa mengasihi pasangannya seperti Tuhan telah mengasihinya. Artinya, bisa menerima dan mengasihi pasangan apa adanya, walaupun ada hal-hal yang belum diketahui sebelum atau sesudah menikah.

Setiap orang tentu punya kekurangan, misalkan calon pasangan anda, seorang yang temperamen atau galak, sebelum menikah sebaiknya dipikirkan masak-masak, apakah anda sungguh mengasihinya dan bisa menerimanya apa adanya, dengan segala konsekuensinya? Jangan berpikir untuk mengubahnya, namun terima apa adanya jika memang anda mengasihinya, caranya tentu dengan lebih sabar menghadapinya, menasehati (bukan menggurui) dan berdoa untuk perubahan karakternya. Lalu bagaimana jika baru ketauan galak setelah menikah? Jika pernikahan didasari oleh kasih, tentunya sikap anda tidak jauh berbeda, tidak perlu merasa digombali tapi tetaplah mengasihinya dan berdoa untuknya sampai perubahan terjadi.

Dengan kasih yang tanpa syarat, kita bisa hidup bersama pasangan dalam segala kondisi, baik saat dia menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Apakah itu sesuatu yang mudah atau sulit dilakukan? Jawabannya, tergantung pada diri kita sendiri...sudahkah ’kasih tanpa syarat’ itu ada dalam hidup kita sendiri.

Sebagai seorang dokter muda yang baru selesai pendidikan, saya wajib menjalani tugas pengabdian di Puskesmas selama 3 tahun. Maka saya pun ditempatkan di suatu Puskesmas yang jauh jaraknya dari kota asal saya, yang membutuhkan waktu lebih dari 8 jam perjalanan kesana.

Ternyata Tuhan punya rencana indah, karena disanalah saya bertemu dengan calon istri. Pertemuan tersebut diawali dengan sebuah undangan persekutuan doa di rumahnya. Saat itu dia terpaksa pulang ke kampung halamannya dan meninggalkan kuliahnya di Jakarta, karena mengalami gangguan fungsi ginjal yang sangat serius, dimana kedua ginjalnya dipenuhi batu, sehingga fungsi ginjalnya hanya tersisa 10% saja.

Awalnya tidak pernah terbersit dalam pikiran saya bahwa ia akan menjadi jodoh saya. Namun setelah beberapa kali bertemu, bibit cinta mulai bersemi di hati kami berdua, dan kami mulai berpacaran. Sebagai manusia dan dokter, rasanya ’kurang rasional’ jika saya berpacaran dengan seorang yang punya masalah kesehatan yang cukup serius, bahkan pihak keluarga pun sempat mempertanyakan pilihan saya tersebut. Pergumulan timbul dalam hati saya, namun saya kembali dikuatkan dan percaya Tuhan pasti punya rencana indah buat kami.

Hubungan kami pun terus berlanjut dengan serius, dan walaupun saya mengetahui latar belakang kesehatan calon istri namun hal itu tidak menyurutkan niat saya untuk menikahinya pada tahun 1997. Di tahun 1998, tugas saya di Puskesmas tersebut selesai dan kami memutuskan untuk pindah ke Jakarta karena saya bercita-cita untuk mengambil spesialisasi.

Ternyata kami harus menghadapi kenyataan pahit karena istri saya terkena infeksi ginjal serius yang hampir merenggut nyawanya. Bahkan ia divonis menjalani cuci darah untuk seterusnya karena kedua ginjalnya sudah tidak berfungsi lagi. Saat itu saya sempat putus asa dan tak berdaya, karena cuci darah membutuhkan biaya yang tidak kecil dan harus dijalani seumur hidup. Namun dengan iman dan kasih dari Tuhan, kami terus melangkah bersama dan berharap hanya kepada-Nya.

Sungguh rancangan Tuhan bukanlah rancangan kecelakaan, melainkan rancangan damai sejahtera untuk mendatangkan hari depan yang penuh harapan. Tuhan menyertai dan memberkati pernikahan kami secara luar biasa, meskipun saya harus meninggalkan niat menjadi dokter spesialis, tetapi Dia tetap memberkati kami secara luar biasa. Saat ini di tahun 2011, tak terasa cangkok ginjalnya sudah melewati tahun yang ke delapan.

Pernah istri bertanya kepada saya, apakah saya mencintainya? Saya selalu menjawab bahwa saya mengasihinya. Itulah dasar dari komitmen saya kepadanya. Cinta manusia bisa luntur karena waktu atau konflik rumah tangga, namun Kasih itu tidak berkesudahan. Terpujilah Tuhan buat segala kebaikan-Nya kepada kami berdua. Haleluya.

Sebagai orang percaya, jika kita memiliki sikap/respon yang benar, menempatkan Tuhan diatas segalanya maka percayalah Dia pasti akan membela hidup dan rumah tangga kita, karena mata Tuhan menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia.

Tuhan memberkati!