Wednesday, March 3, 2010

Satu Kunci Kebahagiaan Pernikahan

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan bubur.

Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah.

Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikitpun. Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.

Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin. Namun, di mata ayahku, ibu bukan pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam pernikahan, ayah tidak memahami ibu.

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berprestasi dalam pelajaran. Ia suka main catur dan suka larut dalam dunia buku.

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.

Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut rumah. Ayah menyatakan ketidakbahagiannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi yang menyatakan kepedihan yang dijalaninya dalam pernikahan.

Dalam proses pertumbuhan, aku melihat dan mendengar ketidakberdayaan dalam pernikahan orangtua, tapi sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan sebenarnya mereka layak mendapatkan sebuah pernikahan yang baik.

Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan pernikahan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku bertumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri: DUA ORANG YANG BAIK, KENAPA TIDAK MENDAPATKAN PERNIKAHAN YANG BAHAGIA?

Setelah dewasa dan memasuki pernikahan, dan secara perlahan-lahan saya pun mengetahui jawaban atas pertanyaan diatas…

Di masa awal pernikahan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, saya menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara pernikahan. Anehnya, saya tidak merasa bahagia dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia.

Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak… lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati. Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia.

Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata, “Istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik.” Dengan mimik tidak senang saya berkata, “Apa kau tidak melihat kalau rumah masih belum beres, anak-anak belum menyiapkan perlengkapannya?”

Tapi begitu kata-kata itu terlontar, saya pun termenung dalam hati… ternyata kata-kata itu tidak asing di telinga saya, dalam pernikahan orangtua saya, ibu juga kerap berkata yang sama kepada ayah. Saya seperti sedang mempertunjukkan kembali pernikahan orangtua, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam pernikahan mereka.

Kesadaran muncul dalam hati saya... Apa yang kamu inginkan? Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah saya. Ayah tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam pernikahannya... Waktu ibu menyikat panci dan mengurus rumah lebih lama daripada menemaninya.

Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga adalah cara ibu dalam mempertahankan pernikahan, ia mau memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, malah sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga.

Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku, cara saya juga sama seperti ibu, pernikahan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan pernikahan yang bahagia.

Kesadaran… membuat saya bertanya pada suamiku, “Apa yang kau butuhkan, suamiku?”
“Aku membutuhkanmu untuk menemaniku, mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku,” ujar suamiku.

“Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakianmu... dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.”

“Semua itu tidak penting lah!” ujar suamiku. “Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.” Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut. Kami terus menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memakai cara masing-masing untuk mencintai, namun bukan cara yang dikehendaki oleh pasangan.

Sejak itu, saya belajar membuat daftar kebutuhan suami, dan meletakkannya di atas meja buku, begitu pula dengan suami, dia juga membuat sebuah daftar kebutuhanku.

Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya: waktu senggang menemani suami mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan dan ciuman selamat jalan bila berangkat. Beberapa hal itu cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang sulit, seperti: dengarkan aku, jangan memberi komentar, dan lainnya.

Bagi saya ini sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada mengurus rumah, dan saat kebutuhan kami ini terpuaskan maka pernikahan yang kami jalani kian hari juga semakin penuh daya hidup.

Hai suami-istri, tanyakanlah pada pasanganmu: apa yang kau inginkan? Komunikasi akan menyiapkan jalan kebahagiaan dalam pernikahan. Sehingga keduanya akan melangkah dalam jalan bahagia yang memberi kehidupan dalam pernikahan.

Kini, saya tahu kenapa pernikahan ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka bersikeras menggunakan cara masing-masing dalam mencintai pasangannya, tapi bukan mencintai sesuai keinginan pasangannya.


Tuhanlah yang menciptakan lembaga pernikahan, setiap pasangan pantas dan layak memiliki sebuah pernikahan yang bahagia, asalkan cara yang kita lakukan itu tepat. Memberi bukan atas kehendak kita sendiri, tapi atas apa yang pasangan kita kehendaki.

Demikianlah seperti yang tertulis dalam Efesus 5:32, “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dengan jemaat.” Bukankah hubungan pasangan suami-istri dalam pernikahan melambangkan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya? Seperti itu juga yang Tuhan mau untuk kita... mempelai-Nya... lakukan yaitu agar kita melakukan apa yang Dia kehendaki bukan yang kita kehendaki.

Tuhan memberkati!

No comments:

Post a Comment