Sunday, December 5, 2010

Hamba yang tidak mau Mengampuni

Matius 18:21-35

Ayat 21, Petrus bertanya: sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?, kenapa Petrus bertanya berapa kali? Dan kenapa dia menanyakan apakah cukup sampai 7 kali?

Tradisi Yahudi mengajarkan bahwa suatu kesalahan yang sama hanya bisa diampuni sebanyak 3 kali. Bahkan di jaman sekarang ini pun kita sering mendengar peraturan baik tertulis ataupun tidak, bahwa untuk suatu kesalahan diberikan toleransi hingga 3 kali (contoh: dalam dunia pekerjaan, umumnya, Surat Peringatan diberikan maksimal 3 kali).

Apa yang Petrus tanyakan: sampai 7 kali? berarti menunjukkan responnya yang berusaha untuk lebih baik daripada aturan yang biasanya berlaku umum, dengan kata lain pertanyaan Petrus bisa diartikan: Apakah cukup jika saya sudah mengampuninya lebih banyak dari yang dilakukan oleh orang lain atau tradisi atau umumnya?

Namun Tuhan Yesus tidak melihat hal pengampunan seperti kita melihatnya... Pengampunan bukan soal berapa kali mengampuni, karena itu Yesus memberikan jawaban yang berbeda: Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Bagi Yesus, mengampuni adalah sikap hati. Jumlah perkalian yang Yesus katakan bukan menunjuk pada jumlah angka pengampunan tertentu. Dengan jawaban itu, Yesus ingin menekankan bahwa anak Tuhan harus bisa mengampuni terus menerus, dengan tidak terbatas atau dengan kata lain: mengampuni adalah gaya hidup anak Tuhan.

Pertanyaan buat kita semua: Bisakah kita bisa mengampuni kesalahan orang lain secara tidak terbatas?

Mari kita lihat apa latar belakang Petrus menanyakan soal mengampuni ini, perhatikan kembali ayat 21, Petrus bertanya dengan memberi contoh: sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Garis bawahi kata saudaraku (KJV: my brother).

Disakiti oleh orang yang dekat dengan kita, seperti: suami/istri atau orangtua atau anak atau saudara atau sahabat tentunya terasa jauh lebih sakit daripada jika hal itu dilakukan oleh orang lain. Tuhan Yesus mengerti hal itu tapi Dia malah mengatakan agar kita mengampuni sampai tidak terbatas. Padahal kelihatannya untuk mengampuni seseorang hingga tidak terbatas itu bagaikan mimpi, sesuatu yang tidak masuk akal.

Secara manusiawi memang tidak mudah untuk bisa mengampuni, apalagi terus menerus hingga tidak terbatas seperti yang Tuhan perintahkan. Tapi jika Yesus sampai memerintahkan dan menekankan hal ini berarti itu adalah kehendak-Nya dalam hal mengampuni; dan artinya kita bisa melakukannya (walaupun tidak mudah..hehe..). Biasanya yang jadi hambatan dalam melaksanakan kehendak Tuhan adalah sikap hati kita; memilih antara mau taat atau tidak?

Agar kita mengerti dan bisa melakukan kehendak-Nya, Tuhan Yesus memberikan perumpamaan-Nya dalam ayat 23-34.

Ayat 24-25, ada seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta, hutang 10.000 talenta adalah jumlah yang sangat-sangat besar. Sebagai perbandingan, upah 1 tahun adalah 300 dinar, 1 talenta = 6000 dinar, jadi untuk mendapatkan 1 talenta orang harus bekerja selama 20 tahun, untuk 10.000 talenta berarti bekerja selama 200.000 tahun. Bayangkan harus bekerja 200.000 tahun baru bisa melunasi hutang tersebut. Ini tentu saja mustahil! Bahkan jika orang itu dibantu isteri dan dua anak sekalipun maka mereka masih harus bekerja selama 50.000 tahun barulah hutang itu lunas! Benar-benar mustahil... karena umur manusia tidak akan mungkin mencapai puluhan ribu tahun.

Ayat 26-27, setelah hamba itu memohon ampun, sang raja akhirnya berbelas kasihan dan menghapuskan hutangnya yang mustahil untuk dibayar oleh hamba itu. Kisah ini menggambarkan kehidupan kita yang tadinya sebagai orang berdosa dan tidak bisa lepas dari akibat dosa itu = kematian kekal (sesuatu yang mustahil seperti melunasi hutang 10.000 talenta dengan bekerja 200.000 tahun) dan hanya pengampunan/penebusan dari Tuhan Yesus (sang Raja) yang bisa menyelamatkan/membebaskan kita dari dosa itu.

Kita lanjutkan dalam ayat 28, setelah menerima pengampunan yang tidak terkira besarnya, hamba itu lalu bertemu dengan hamba lain yang berhutang kepadanya sebesar 100 dinar. Jumlah yang lumayan besar karena sama dengan upah kerja 100 hari (tapi jelas, sangat-sangat kecil dibandingkan hutang 10.000 talenta hamba itu pada sang raja), karena itu ia memaksa kawannya untuk membayar hutangnya bahkan sampai menangkap dan mencekiknya.

Perhatikan ayat 29: Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Kawannya itu memohon pengampunan sama seperti yang hamba itu lakukan sebelumnya di hadapan sang raja... Tapi apa respon hamba itu? Ayat 30: Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. Hamba itu tidak mau mengampuni kawannya bahkan memasukkannya ke dalam penjara.

Apa kesimpulan kita untuk orang seperti hamba itu?
  • Bukankah hamba itu seorang yang tidak tahu diuntung?
    Hutangnya 10.000 talenta diampuni, tapi sulit mengampuni hutang kawannya yang hanya 100 dinar.

  • Bukankah hamba itu seorang yang tidak sabar?
    Ia diampuni untuk hutang 10.000 talenta yang mustahil terbayar apapun juga yang dilakukannya, tapi ia tidak mau menunggu kawannya berusaha membayar hutang (yang sebenarnya masih masuk akal untuk dibayar).

  • Bukankah hamba itu seorang yang tidak punya belas kasih?
    Ia tidak mengerti bahwa ia telah menerima pengampunan yang begitu besar dan tidak terbatas, yaitu saat sang raja berbelas kasihan dan mengampuninya. Dan seharusnya jika belas kasihan itu ada dalam dirinya, ia pun bisa mengampuni kawannya sebagaimana sang raja sudah lebih dulu mengampuninya.
Anak-anak Tuhan sesungguhnya diposisikan seperti hamba itu, kita telah menerima pengampunan yang tidak terkira besarnya dari Tuhan; jadi sikap apa yang seharusnya kita lakukan seandainya yang diposisikan sebagai kawan si hamba adalah orang-orang (mungkin teman, saudara, pasangan, anak, orangtua, dsb) yang pernah menyakiti kita, dan kesalahan yang mereka lakukan pada kita memang besar (seperti hutang 100 dinar, tapi tetap lebih besar 10.000 talenta hutang kita sebelumnya).

Apakah kita akan bersikap sama seperti sikap hamba jahat itu? Ataukah kita lebih memilih menuruti kehendak Tuhan yaitu mengampuni tanpa batas, mengampuni dengan segenap hati?

Yang pasti, Tuhan Yesus kembali menegaskan pada kita melalui perumpamaannya, sikap yang seharusnya kita lakukan dalam mengampuni, di ayat 33, Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?

Kolose 3:13
Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.

Dan jika hal itu tidak kita lakukan maka inilah yang akan Tuhan lakukan pada kita, ayat 34, Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.

Ulangan 11:26-28,
Lihatlah, aku memperhadapkan kepadamu pada hari ini berkat dan kutuk:
berkat, apabila kamu mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini;
dan kutuk, jika kamu tidak mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, dan menyimpang dari jalan yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini,


Tuhan memberkati!

No comments:

Post a Comment